Sama seperti pohon
Di Pokok kita masih satu,
lantas kita berpisah di cabang.
Ada yang kekiri,
ada yang ke kanan,
ke depan,
ke belakang.
Atau bila masih satu cabang,
kita nanti akan berpisah juga di ranting.
Ada yang lurus keatas,
kedepan,
ke samping,
ke belakang.
Waktunya makin banyak,
beda dan dewasa kita juga tambah banyak.
Itulah kita.
(Bubin Lantang, Jejak-Jejak)
Setiap kali kudengar lagu Iwan Fals di album Suara Hati, aku selalu dibuat teringat masa SMP. Pada salah satu kegiatan ekstrakurikuler, tempatku sekian tahun terbenam. Mencari makna hidup dalam kesendirian. Lagu-lagu Iwan itu begitu luar biasa. Seperti penyanyinya. Dia tidak butuh banyak hal agar bisa didengarkan. Kadang dia hanya butuh sebuah gitar atau harmonika. Saya rasa dia sangat rendah hati. Dan sangat tidak selebritis! Indah sekali. Sekalipun kadang sesak terasa, karena mau tidak mau lagu-lagu itu selalu mengingatkanku pada banyak kenangan. Membuatku sentimentil.
Saya ingat Kak Juped, yang tak kenal waktu mengajari kami banyak hal, agar kami tetap bisa mandiri dan menyebarkan perlawanan kami. Saya ingat Anna, pada cita-cita menghidupkan Ranger, setelah para pembina kami rasa tidak bisa lagi terlalu diandalkan. Pada ruangan sanggar yang kuimpikan dan telah kurencanakan bersama. Pada semua. Pada cita-cita yang mungkin terdengar konyol dan mengawang-awang saking sederhananya... milikku, dan teman-temanku itu. Pagi ini saya terkenang pada mereka semua. Terakhir kudengar mereka tak lagi berurusan berurusan dengan pramuka. Saya dengar mereka sudah sibuk mengarsiteki masa depan. Sementara saya di sini masih sempat bermain komputer dan mengirim e-mail. Ingat tidak, Kawan, suatu hari kita pernah berdiskusi tentang tunas kelapa? Sepertinya inilah saatnya kita --setelah lelah menjadi buah, pokok pohon, menjadi daun, berakhir di daun:-- suatu hari nanti akan gugur, menjadi humus dan menyuburkan tanah. Semoga. Kurindu kalian semua!