Wednesday

ukuran kejujuran

Seharusnya tidak perlu terjadi, toh saya bisa menahan untuk tidak mengatakannya. Tapi kukatakan juga! Padahal saya sendiri tidak yakin pada apa yang akan kulakukan nanti.
Dulu, waktu memutuskan untuk memilih menjadi wartawan, Ibu sempat mengingatkan, "Sebelah kakimu sudah di neraka, Nak!". Artinya tinggal sebelah lagi, maka lengkaplah kehancuranku. Ibu memang percaya pada apa pun pilihanku, tapi --seperti yang selalu tersirat dari kata-katanya-- Ibu juga tidak pernah sepenuhnya yakin pada pikiran-pikiranku.
Menjadi jurnalis mesti jujur, dan ibu tidak terlalu yakin pada kejujuranku. Sering saya sendiri mengukur-ukur, seberapa jujur saya sebenarnya. Dan tak pernah kutemukan grafik memuaskan yang membuatku bisa menghibur diri. Saya mungkin tidak cocok dengan pekerjaan ini. Pekerjaan yang mendewakan kebenaran melalui kata dan tulisan, dan kepada banyak orang dia mesti berpihak. Itu artinya keberanian. Itu artinya kejujuran.
Sedang saya? Pada diri sendiri pun kadang saya berbohong. Seperti misalnya apa saya benar-benar mencintai pekerjaan ini? Apa situasi ini benar-benar menyenangkan bagiku? Ah!!! Saya tahu, tak ada jawaban pasti.
Maka kuputuskan untuk mengatakan pada ibuku tentang niatku untuk melamar CPNS. Kali ini beliau tidak banyak bicara. Hanya mengingatkanku saja, pada apa yang pernah dipesankannya dulu.
Bunda, saya bukannya tidak bisa jujur. Tapi dalam dunia yang hanya kebohongan yang bisa kita beli murah... apalah yang bisa kulakukan dengan tangan kecil ini?
Maafkan, Bunda, tapi saya benar-benar lelah...

mengapa karebosi harus direvitalisasi ?

Memang sudah sewajarnya harus ditata agar tidak lagi terlihat kumuh/ terkadang sudah menyerupai tambak bandeng saat musih hujan tiba/ penggunaan dan pemanfaatannya tidak dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat/ mengusik keberadaan Diza Rasyid Ali yang mengklaim dan menguasai sebagaian lahan di karebosi yang dimanfaatkan untuk memperkaya diri tanpa memenuhi kewajiban membayar pajak/ keberadaan industrialisasi olahraga (MFS) yang dikelola Diza Ali dengan menggunakan aset Negara seenaknya saja/ realisasi pembangunan dan program penataan kota masa depan/ memperluas lapangan kerja/ demi keindahan kota/ upaya mendapatkan keuntungan melalui mark up anggaran dan penunjukan langsung pelaksana tender proyek/ membuka lahan baru praktek korupsi/ memajukan ekonomi dan menambah PAD Kota Makassar/ menekan laju perkembangan waria/ sebagai kuda tunggangan berbagai kepentingan politik/ mesin penghasil uang para penguasa dalam rangka menghadapi pilkada walikota/ dan banyak lagi alasan yang rasional/ sedikit rasional dan rada-rada logis/

Sunday

Saturday

cium tangan

Betapa banyak doa yang mengalir ke tubuhmu/ saat tangan ini kau jabat/ dan kau lekatkan di dahimu/ begitu banyak harap terucap dalam hati/ saat jemari ini kau genggam erat/ dan kau kecup di bibir indahmu/ patutnya kau pahami semua itu/

zarah tak berarti

Aku memang harus meninggalkan semuanya/ hanya itu pilihan yang tersisa saat ini/ entah kemana/ tapi aku harus pergi/ memang akan ada kenangan yang tersisa/ tapi setidaknya tak ada rasa yang terluka/ tak ada lagi alasan yang bisa membuatku memilih langit ini sebagai tempat bernaung/ aku harus melangkah mencari langit yang lain/ langit yang tak membuatku terluka/ langit yang tak membuatku merasa sendiri/ langit yang tahu arti sebuah komitmen/ aku memang bukan siapa-siapa/ aku hanyalah sebuah zarah tak berarti/ tapi izinkan aku menghaturkan maaf untuk sebuah keputusan/ maafkan aku karena memilih tuk kembali melangkah mencari langit yang lain/ akan ada kisah/ akan ada kenangan/ akan ada mimpi yang tertinggal/ namun semoga semuanya tak membuat zarah yang tak berarti ini meninggalkan salah atau khilaf yang tak termaafkan/ sekali lagi/ maaf/