Wednesday

ukuran kejujuran

Seharusnya tidak perlu terjadi, toh saya bisa menahan untuk tidak mengatakannya. Tapi kukatakan juga! Padahal saya sendiri tidak yakin pada apa yang akan kulakukan nanti.
Dulu, waktu memutuskan untuk memilih menjadi wartawan, Ibu sempat mengingatkan, "Sebelah kakimu sudah di neraka, Nak!". Artinya tinggal sebelah lagi, maka lengkaplah kehancuranku. Ibu memang percaya pada apa pun pilihanku, tapi --seperti yang selalu tersirat dari kata-katanya-- Ibu juga tidak pernah sepenuhnya yakin pada pikiran-pikiranku.
Menjadi jurnalis mesti jujur, dan ibu tidak terlalu yakin pada kejujuranku. Sering saya sendiri mengukur-ukur, seberapa jujur saya sebenarnya. Dan tak pernah kutemukan grafik memuaskan yang membuatku bisa menghibur diri. Saya mungkin tidak cocok dengan pekerjaan ini. Pekerjaan yang mendewakan kebenaran melalui kata dan tulisan, dan kepada banyak orang dia mesti berpihak. Itu artinya keberanian. Itu artinya kejujuran.
Sedang saya? Pada diri sendiri pun kadang saya berbohong. Seperti misalnya apa saya benar-benar mencintai pekerjaan ini? Apa situasi ini benar-benar menyenangkan bagiku? Ah!!! Saya tahu, tak ada jawaban pasti.
Maka kuputuskan untuk mengatakan pada ibuku tentang niatku untuk melamar CPNS. Kali ini beliau tidak banyak bicara. Hanya mengingatkanku saja, pada apa yang pernah dipesankannya dulu.
Bunda, saya bukannya tidak bisa jujur. Tapi dalam dunia yang hanya kebohongan yang bisa kita beli murah... apalah yang bisa kulakukan dengan tangan kecil ini?
Maafkan, Bunda, tapi saya benar-benar lelah...