Thursday

wartawan vs polisi

Ada yang unik dari berbagai kasus kekerasan wartawan oleh aparat polisi negara yang notabene adalah mitra kerja. Mulai dari praktek jambret yang dilakukan seorang oknum anggota Satuan Samapta Polwiltabes Makassar bernama Bripda. Asri Wahyudi, hingga penghapusan gambar seorang fotografer Indopos oleh oknum perwira menengah berpangkat komisaris besar.
Pasca insiden tak terpuji itu, protes dan kecaman terus berkoar dari berbagai kalangan dan organisasi profesi jurnalis, seperti AJI, PJI, IJTI, PWI dan lain-lain. Tindak kekerasan jurnalis yang terjadi secara beruntun pekan ini, tentunya suatu pelanggaran Undang-Undang Pers No 40 yang mengancam pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda maksimum 500 juta rupiah bagi para pelakunya.
Di Kota Makassar saja, sejak kapan hari kawan-kawan jurnalis dari berbagai media cetak dan elektronik, lokal, nasional hingga internasional berunjukrasa dengan mendatangi Mapolwiltabes Makassar untuk memprotes keras insiden perampasan kamera seorang wartawan harian Suara Pembaruan saat meliput unjukrasa penolakan revitalisasi Lapangan Karebosi yang berakhir ricuh. Beraneka ragam slogan yang dipampang para wartawan Makassar ini, mayoritas bertuliskan nada kecaman juga makian, semisal “Polisi merusak citranya, merebut dan mencuri kamera wartawan”, bahkan ada pula bertuliskan “anda polisi atau preman???”
Wah, wah, padahal secara tidak langsung saya pun melakukannya. Sebagai seorang jurnalis yang notabene mitra dari kepolisian, saya juga telah melakukan pencurian terhadap seorang oknum polisi. Namun hingga saat ini, tak ada unjukrasa maupun aksi protes dari mereka yang mengecam profesi wartawan. Padahal, saya telah merebut dan mencuri hati seorang oknum polisi wanita berpangkat Bripda. Ironisnya, tak satupun undang-undang perlindungan maupun hukum pidana juga perdata yang dapat mengancam dan menghukum saya.
Coba kalau polisi juga punya Undang-Undang Kepolisian sejenis Undang-Undang Pers No.40 Tahun 1999, mungkin saya juga sudah didemo oleh para polisi.